Perubahan budaya menonton lewat OTT bukan hanya soal teknologi, tapi juga menandai babak baru ekosistem perfilman. Pergeseran ini dapat membuka jalan bagi Jakarta memperkuat posisinya sebagai pusat sinema Asia Tenggara.

Dalam satu dekade terakhir, cara orang Indonesia menikmati film berubah cepat. Antrean di bioskop kini tergantikan dengan sentuhan di layar ponsel. Pergeseran ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi perubahan budaya menonton yang turut mengiringi perjalanan Jakarta menjadi kota sinema.

Platform Over the Top (OTT) seperti Netflix, menilai perubahan ini peluang besar untuk mendekatkan kisah Indonesia kepada dunia. “Selama hampir sepuluh tahun, Netflix telah berinvestasi untuk menghibur penonton Indonesia dan bekerja sama dengan para pencerita lokal,” ujar Ruben Hattari, Director of Global Affairs Netflix Asia Tenggara, kepada Tempo. Menurutnya, penonton kini mencari kisah yang autentik secara lokal namun dikemas dengan kualitas produksi kelas dunia.

Netflix pun menghadirkan deretan tayangan populer seperti Gadis KretekThe Big 4, dan The Shadow Strays yang berhasil menembus pasar global. Film horor Indonesia terbaru, Abadi Nan Jaya (The Elixir) bahkan melesat ke peringkat No. 1 dalam daftar Global Top 10 Non-English Films Netflix, dengan lebih dari 11 juta penayangan hanya dalam beberapa hari sejak dirilis pada 23 Oktober. Dalam kurun 20–26 Oktober, film itu menempati posisi pertama di lima negara dan masuk 10 besar di 75 negara, mulai dari Jepang hingga Brasil.

“Produksi kami menciptakan ratusan lapangan pekerjaan setiap tahunnya, serta menampilkan kekayaan dan kreativitas cerita Indonesia di panggung global,” kata Ruben. Ia menilai industri streaming telah melengkapi layar bioskop dengan membuka akses bagi lebih banyak karya lokal agar dikenal luas.

Namun, tidak semua pelaku industri menyambut pergeseran ini tanpa catatan. Claresta Taufan, aktris muda pemeran film Pangku, melihat OTT sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, sinefil bisa menonton film festival yang tidak tayang di Indonesia.

Pada sisi sebaliknya, ia menilai film yang baru tayang di bioskop sebaiknya tidak terlalu cepat masuk ke platform digital karena dapat mengubah kebiasaan menonton masyarakat. “Padahal pengalaman menonton di bioskop itu beda banget,” kata Claresta.

Meski begitu, ia tetap melihat OTT sebagai peluang bagi pekerja film. “Semakin banyak platform yang ada, semakin banyak film yang akan diproduksi. Dan semoga yang semakin banyak itu juga berkualitas,” ujarnya. Ia berharap ledakan jumlah produksi tidak membuat sineas “asal bikin film” tanpa pesan yang kuat.

Pernyataan Claresta sejalan dengan pandangan Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno, yang menyoroti ketimpangan antara pesatnya pertumbuhan penonton dan keterbatasan infrastruktur layar bioskop di Indonesia.

Data yang ia paparkan menunjukkan bahwa pada 2024 jumlah penonton film nasional mencapai 122 juta orang, dengan 65 persen atau 80 juta di antaranya menonton film lokal. “Jadi sesungguhnya film Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” kata Rano di kawasan Senayan, Jakarta Pusat.

Namun, Indonesia baru memiliki 491 gedung bioskop dengan 2.361 layar, tersebar hanya di 115 dari 514 kabupaten/kota. “Kalau 400 kabupaten saja membangun satu gedung bioskop, saya yakin film Indonesia akan jauh lebih hebat,” ujarnya.

Kesenjangan ini terlihat mencolok bila dibandingkan dengan negara lain. Cina memiliki 9.520 gedung bioskop dengan 86.310 layar, sementara Amerika Serikat memiliki 5.600 bioskop dengan 40.700 layar.

Dengan infrastruktur yang terbatas, platform streaming seperti Netflix menjadi jembatan bagi penonton di daerah yang belum memiliki akses bioskop untuk menikmati film.

Ruben Hattari berpendapat, kondisi tersebut perlu disikapi bijak. Selain menambah infrastruktur, pemerintah juga dapat meniru negara-negara tetangga agar pertumbuhan dan investasi tetap berkelanjutan dalam ekonomi kreatif. “Indonesia memerlukan regulasi yang adil, transparan, dan visioner,” ujarnya. “Sehingga menarik lebih banyak produksi internasional ke Indonesia.”

Netflix, tutur Ruben, bukan sekadar entitas bisnis yang menihilkan edukasi. Melalui Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI), Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), dan Komdigi, Netflix berupaya membangun ekosistem streaming yang sehat dan berimbang bagi kreator maupun penonton.

Inisiatif itu dinamai “Membangun Keluarga Digital di Era Streaming”. Tujuannya untuk membantu orang tua mengelola pengalaman menonton anak dengan fitur profil ramah anak, kontrol orang tua, dan katalog konten keluarga.

Selain itu, Netflix berinvestasi dalam pengembangan talenta lokal melalui kerja sama dengan Kementerian Kebudayaan untuk kelas penulisan naskah (2022), Series Pitch Lab (2023), dan Reel Life Film Camp (2024). Program-program itu bagian dari Netflix Fund for Creative Equity, yang bertujuan memperkuat kapasitas sineas muda dan industri film nasional.

Ruben menilai Jakarta punya potensi menjadi episentrum industri kreatif Asia Tenggara. “Jakarta dapat mengambil peran utama dalam mengembangkan skema insentif yang menarik lebih banyak produksi internasional,” ujarnya. “Sebagai ibu kota Indonesia sekaligus salah satu pusat kreativitas paling dinamis di Asia Tenggara, Jakarta memainkan peran penting dalam menghubungkan talenta serta mendorong pertumbuhan produksi film regional.”

Netflix berharap dapat terus berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan pelaku industri untuk mewujudkan ambisi itu. “Kami menantikan lebih banyak peluang untuk mendukung tujuan Jakarta menjadi rumah bagi perfilman kelas dunia dan pusat kekuatan sinema Asia Tenggara,” kata Ruben. (*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *