KOTA SINEMA — Warisan sinema Jakarta masih rapuh. Kendati memiliki Sinematek, lembaga arsip film tertua di Asia Tenggara. Sebagian koleksinya tak terurus dan jauh dari standar preservasi modern. Padahal di sanalah jejak sejarah film Indonesia—dari gulungan seluloid, foto produksi, hingga naskah asli—disimpan.

Sejarawan J.J. Rizal menyebut kelemahan pengarsipan ini sebagai ganjalan besar bagi ambisi Jakarta menjadi Kota Sinema versi UNESCO. “Seberapa layak Jakarta menjadi Kota Sinema, tergantung seberapa serius kita dengan pusat perfilman dan Sinematek,” ujarnya dalam Focus Group Discussion bertema Jakarta Kota Sinema di Jakarta Pusat, Kamis, 4 Desember 2025.

Rizal melihat pemerintah belum serius dengan peran penting Sinematek. Lembaga itu sama seperti Pusat Perfilman H. Usmar Ismail dan perpustakaan H.B. Yassin adalah aset bersejarah yang terabaikan. “Sinematek kini menjadi ‘mumi’ dalam kondisi yang lusuh di Kuningan,” keluhnya.

Merespons ucapan Rizal, Staf Khusus Gubernur Jakarta, Wakil Ketua Bidang Pemerintahan, Fadhilannisa Apridini, sepakat bahwa untuk menjadi Kota Sinema, Jakarta perlu menempatkan warisan dan artefak film sebagai salah satu indikator kunci. Hal ini penting untuk merawat sejarah sinema Indonesia sebagai fondasi pengembangan masa depan.

“Ketika kita sudah menyatakan jadi Jakarta Kota sinema artinya kita sudah harus siap juga untuk memikirkan dan mengembangkan Sinematek Indonesia,” ucap Fadhilannisa.

Ia membandingkan dengan pengalamannya saat meninjau Asian Film Archive di Singapura. “Mereka tidak hanya mengarsipkan film, tetapi mengelolanya sebagai pusat edukasi, ruang pemutaran, hingga destinasi wisata,” katanya.

Lembaga pengarsipan di negara tetangga itu juga mengembagnkan cara pendanaan yang beragam, mulai dari hibah, donasi, keanggotaan (membership), hingga penjualan merchandise film lawas.

Sebab itu, Pemprov Jakarta, kata Fadhilannisa, berharap Tempo menggelar diskusi lanjutan dengan tema khusus yang menghadirkan Sinematek. “Agar kita tahu persis apa kebutuhan mereka.”

Selain Sinematek, ternyata Perpustakaan Nasional juga menyimpan arsip film dalam skala kecil. Secara umum dikategorikan dengan nama koleksi audio visual, baik untuk bahan kajian maupun bahan rekreasi.

“Bentuknya beragam ada VCD/DVD, piringan hitam, kaset pita, micro film,” tutur pustakawan Perpustakaan Nasional Arief Delta Riswanto. Koleksi DVD ini berupa film atau rekaman suara, dari sekitar 20.000, separuhnya berupa film.

“Judul-judulnya ada film lawas seperti Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Jogja (1951), Pacar Ketinggalan Kereta (1989), hingga Petualangan Sherina (1999),” papar Arief.

Ternyata kegiatan pengarsipan bukan semata dilakukan oleh institusi pemerintah. Ada pula Moses Parlindungan dengan bendera Atmakanta yang rajin blusukan demi mengamati media lawas.

“Arsip seputar sinema bukan hanya berupa artikel di media. Bisa juga berupa poster film, di masa lalu dia hasil lukisan,” kata Moses.

Menurut dia, benda semacam itu juga merupakan arsip mengenai film. “Itu menjadi sumber referensi mengenai mengenai referensi kultural pada masa itu,” tukasnya. “Saya pikir arsip-arsip di luar bentuk audio visual menjadi sangat penting.”

Peneliti Budaya dan Arsip, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erniati juga memandang penting pengarsipan film-film klasik ini. Dokumen-dokumen lama itu menggambarkan perjalanan panjang budaya. Busana misalnya, dapat menjadi literasi dan inspirasi generasi terkini untuk menghasilkan bentuk baru. “Mungkin ada pergeseran, karena zaman yang telah berubah.”

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *